Sedikit cerita sejarah bernuansa klimatologi dan topografi Jawa, sayang rasanya
kalau diketahui sendiri saja. Saya tuliskan untuk rekan-rekan semua, semoga
bermanfaat menambah pengetahuan.

Menarik mencermati publikasi lama Fruin-Mees (1919) : ”Geschiedenis van Java”
dan ”Geografi Kesejarahan” Daldjoeni (1984, 1992). Kedua penulis ini
menganalisis dengan tajam bagaimana Sultan Agung dari Mataram menghitung-hitung
rintangan dan dukungan alam untuk menyerang Belanda di Batavia (1628-1629).
Berikut ringkasannya.


Batavia tak mungkin diserbu pada bulan Desember dan Januari karena saat itu
musim penghujan. Banjir akan menggenangi Batavia, angin Barat yang sedang
berhembus ke timur akan menyusahkan kapal-kapal Mataram berlayar ke barat dari
pesisir utara Jawa Tengah menuju Batavia.

Selain itu, Batavia harus digempur dari laut dan dari darat secara bersatu dan
kompak. Ini tak mungkin dalam bulan-bulan musim hujan, tetapi harus dilakukan
dalam musim kemarau yaitu Juli-September. Sebab, pada musim kemarau bertiup
angin Timur ke barat yang akan mendorong kapal-kapal Mataram berlayar ke
Batavia. Pada musim kemarau, angkatan darat Mataram akan memperoleh banyak
bantuan dari para petani di sepanjang perjalanan sebab para petaninya baru
selesai memanen padinya pada April-Mei (ingat sistem pranata mangsa para petani
di Jawa, pernah saya ulas juga di milis ini berdasarkan Daldjoeni, 1984; 1992),
mereka sedang menganggur sebab baru akan mulai menanam lagi pada bulan November
saat hujan pertama datang.

Lalu, bila serangan dilakukan pada bulan Juli-September, persediaan makanan
sepanjang perjalanan akan cukup sebab di sepanjang perjalanan para petani baru
selesai panen (April-Mei). Sultan Agung memerintahkan untuk mendirikan
lumbung-lumbung beras sepanjang perjalanan dari Mataram ke Batavia.

Perjalanan kaki tentara Mataram dari pusat kerajaan di sekitar Yogyakarta ke
Batavia butuh waktu tempuh 90 hari, ini tentu akan lebih lama bila dilakukan
pada musim hujan.

Kemudian, Batavia akan diserang dengan cara membelokkan Sungai Ciliwung,
sehingga Batavia akan menderita kekeringan dan wabah penyakit sebab tak ada air
mengaliri kota. Membelokkan sungai bukan pekerjaan mudah dan tentu ini akan
lebih mudah dilakukan pada saat musim kemarau saat debit sungai minimal.

Sementara itu, perlu juga diperhitungkan kondisi geomorfologi dan geografi kota
Batavia dan sekitarnya. Menurut de Haan (1912) : ”Priangan”, Batavia pada abad
ke-17 terletak di muara Sungai Ciliwung, berawa-rawa, dengan vegetasi dominan
pohon kelapa. Sampai tahun 1625, bila di Batavia hujan maka terjadi genangan
setinggi lutut. Orang bahkan bisa naik sampan untuk masuk ke hutan-hutan di
belakang Batavia. Sampai tahun 1655 ada pendapat bahwa Batavia pada musim hujan
tak mungkin diserang kalau pada musim hujan sebab genangan air akan merupakan
penghalang. Rawa-rawa di sekitar Jakarta itu telah ada sejak abad-abad awal
Masehi maka para pedagang dari Hindustan (India) tak memilih menempati Jakarta
sebab kondisinya tidak sehat.

Pada tahun 1628, daerah Jatinegara sekarang masih merupakan hutan rimba yang
dijadikan tentara Mataram untuk bersembunyi sebelum menyerang Batavia. Tahu
begitu, maka Belanda menebangi banyak pohon di sekeliling benteng Batavia
termasuk pohon-pohon kelapanya. Maka, Batavia pun kekurangan kelapa dan Belanda
mendatangkan kelapa dari Pulau Cocos dekat Pulau Christmas di Samudera Hindia.
Itu terjadi tahun 1632.

Fruin Mees (1919) menulis bahwa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia dua
kali, yaitu dari September 1628 dan September 1629. Keduanya sengaja dipilih
pada musim kemarau. Serangan pertama gagal karena ketika pengepungan sedang
dilakukan tiba-tiba turun hujan pertama, maka para tentara yang sebagian petani
menjadi gelisah sebab mereka ingin segera bertani. Maka para tentara di bawah
pimpinan Sura Agul-Agul itu kembali ke Mataram. Pada serangan kedua, Sungai
Ciliwung berhasil dibelokkan sehingga kota dilanda penyakit. J.P. Coen,
gubernur jenderal saat itu, meninggal pada 20 September 1629 karena serangan
penyakit tersebut (sumber lain mengatakan bahwa ia dibunuh seorang tentara
Mataram yang menyelinap masuk ke benteng). Tetapi, perang bubar pada 7 Oktober
1629 seiring turunnya hujan pertama pada masa labuh. Tentara petani memaksa
pulang ingin mengerjakan sawahnya.

Begitulah, perang masa lalu tak bisa dilepaskan dari irama permusiman di darat
dan pergantian arus laut di Laut Jawa. Strategi Sultan Agung dari Mataram untuk
menyerang Belanda di Batavia sebenarnya cukup pelik dan berat sebab harus
selalu memperhitungkan kerumitan faktor alam. Fungsi iklim dan geomorfologi
akan mempengaruhi kesuksesan perang. Dua faktor ini juga mempengaruhi aktivitas
manusia (khususnya) petani yang dijadikan tentara.

Pada masa rendheng (Desember-Maret) tak diadakan perang sebab pertanian padi
basah sedang berlangsung, tak ada tenaga petani yang mau jadi tentara. Pada
mangsa mareng (April-Juni) sedang terjadi pengumpulan bahan makanan (panen).
Pada mangsa katiga (Juli-September) baru diadakan penyerangan yang diakhiri
pada awal mangsa labuh (Oktober-November).

Oleh : Awang Satyana
Sumber : IAGINET

0 comments